Sejarah
Pembaruan Hukum Perkawinan Islam Indonesia[1]
Oleh : Yushadeni
1.
Sebelum Penjajahan Belanda
Adapun
cara penyelesaian sengketa di kalangan kaum muslim pada awal Islam datang ke
Indonesia adalah dalam bentuk perdamaian (hakam). Maka lembaga peradilan
pertama muncul di Indonesia adalah lembaga tahkim. Kemudian yang kedua,
lembaga ahl al-hall wa al-‘aqd, dalam bentuk peradilan adat. Ketiga
lembaga Peradilan Swapraja pada masa kerajaan-kerajaan Islam. Kemudian yang ke
empat Peradilan Agama sampai sekarang.
Diterimanya
hukum Islam di Indonesia dapat dilihat dari bukti-bukti; pertama, Statuta
Batavia 1642 yang menyebutkan bahwa sengketa warisan antara orang pribumi
yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum
yang dipakai oleh rakyat sehari-hari. Kedua, dipergunakannya kitab Muharrar dan
papakem Cirebon 1768 serta peraturan dibuat B.J.D Clotwijjk untuk Bone
dan Gowa di Sulsel. Ketiga, diterbitkannya kitab hukum Islam sebagai pegangan
dalam masalah hukum keluarga dan waris di kesultanan Palembang dan Banten,
diikuti kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik, dan ngampel. Keempat, 25 Mei
1760 VOC mengeluarkanperaturan Resolutie der Indische Regeering
(mengakui keberadaan hukum Islam untuk menyelesaikan masalah di kalangan
muslim), dan memberlakukan Compedium Freijer bagi muslim (kitab hukum
yang berisi aturan hukum perkawinan dan waris menurut Islam).
2.
Masa Penjajahan Belanda
Pada
masa penjajahan Belanda berlaku Compedium Freijer (kitab hukum yang
berisi aturan hukum perkawinan dan waris menurut Islam) yang ditetapkan 25 Mei
1760 untuk dipakai VOC. Atas usul residen Cirebon, Mr. P.C Hasselar (1757-1965)
dibuat kitab Tjicebonce Rechtboek. Untuk Landraad (sekarang Pengadilan Umum) di Semarang dibuat Compedium tersendiri, begitu juga Makasar. Compedium
diperkuat dengan sepucuk surat VOC tahun 1808 yang memerintahkan agar para
penghulu Islam harus dibiarkan mengurus sendiri perkara-perkara perkawinan dan
warisan.
Berdasarkan berbagai pendapat yang dikemukakan dalam buku
tersebut dapat dilihat bahwa hukum yang
berlaku bagi umat Islam adalah hukum adat, sengketa diselesaikan di Pengadilan
agama asalkan hukum adat menghendaki, sejauh tidak ditentukan lain oleh
ordonansi.
Pada masa kekuasaan Belanda, penduduk indonesia dibagi
menjadi tiga golongan yaitu; pertama orang-orang eropa berlaku Bugerlijk
Wetboek, kedua orang-orang Tionghoa berlaku BW dengan sedikit pengecualian,
ketiga orang Arab dan timur asing bukan Tionghoa berlaku hukum adat mereka. Dari
pengelompokan tersebut tidak ada aturan khusus bagi orang-orang Islam
indonesia.
Sebelum Belanda datang ke Indonesia hukum yang berlaku
adalah hukum Islam. Kemudian dengan kedatangannya ke Indonesia pemberlakuan
hukum Islam termajinalisasikan sedikit demi sedikit, dan akhirnya hanya
diberlakukan untuk kasus-kasus yang sangat terbatas. Begitu juga
hakim-hakimnya, hakim eropa digaji sedangkan hakim agama tidak digaji. Pada
mulanya Belanda mengakui hukum Islam di indonesia namun lambat laun sedikit
demi sedikit dicabut, tahun 1913 dicabut secara keseluruhan hingga yang berlaku
hanya hukum adat.
3.
Masa Kemerdekaan
a.
Masa Orde Lama (Orla)
Setelah
merdeka UU tentang perkawinan pertama lahir pada masa orde lama (pemerintahan
Ir. Sukarno) adalah UU No. 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan
rujuk, UU ini diperluas pemberlakuannya untuk seluruh Indonesia dengan UU No.
32 tahun 1954. Keberadaan UU No. 22 tahun 1946 merupakan pengganti dari Huwelijks
Ordonantie Stbl No. 348 tahun 1929 jo. Stbl No 467 tahun 1931, dan Vorstenlandse
Huwelijks Ordonantie Stbl No. 98 tahun 1933. Adapun isi UU No. 22 tahun
1946 ada dua pasal, pertama, keharusan pencatatan perkawinan, perceraian dan
rujuk. Kedua, penetapan pegawai yang ditugasi melakukan pencatatan perkawinan,
perceraian dan rujuk.
Ada
kebijaksanaan lain sebagai penghargaan kepada muslim yakni penetapan No. 5/ SD
tanggal 26 maret 1946 tentang perpindahan Mahkamah Islam Tinggi yang dulu
berada di Departemen Kehakiman dialihkan kepada Departemen Agama. Demikian juga
penghulu agama dahulu pada Residen dan Bupati diserahkan kepada Menteri Agama.
UU
No. 1 tahun 1974 adalah UU pertama yang berisi materi perkawinan. Meskipun baru
ada tahun 1974 tapi masyarakat telah lama menginginkannya misalnya
organisasi-organisasi wanita yang sampai membicarakan di Dewan Rakyat
(Volkskraad). Sebelumnya ada RA.kartini dan Rohana kudus yang mengkritik
perkawinan di bawah umur, perkawinan paksa, poligami dan talak. Ada juga
kerjasama antara puteri Indonesia dengan Persaudaraan isteri, Persatuan Isteri
dan Wanita Sejati di Bandung 13 oktober 1929 membicarakan tentang poligami dan
pelacuran. Tahun 1931 Kongres Isteri sedar sejalan dengan itu. Selanjutnya 1950
lahir BP$ (Badan Panasehat Pambinaan dan Pelestarian Perkawinan) yang didorong
karena praktek perkawinan di bawah umur, talak semena-mena, poligami tidak
bertanggung jawab. Sebagai respon positif tuntutan tersebut disusun dalam RUU
namun tidak sampai diajukan ke DPR dikarenakan DPR beku karena Dekrit 5 juli
1959.
b.
Masa Orde Baru (Orba)
Peraturan
peundang-undangan pada masa orde baru (masa pemerintahan Suharto) merupakan
kelanjutan dari usaha di orde lama, pada tahun1966 sebagaimana TAP MPRS No. XXVIII/MPRS/1966
dalam pasal 1 ayat (3) bahwa perlu segera diadakan UU tentang Perkawinan. Tahun
1967 dan 1968 sebagai respon terhadap TAP MPRS tersebut, pemerintah
menyampaikan dua RUU kepada DPR Gotong Royong yaitu; pertama, RUU tentang
Pernikahan umat Islam. Kedua, RUU tentang ketentuan Pokok Perkawinan. RUU ini
tidak mendapat persetujuan DPR (1 fraksi menolak, 2 abstain, 13 menerima),
kemudian pemerintah menarik RUU tersebut. Pada awal 1967 Menteri Agama KH. Moh.
Dahlan menyampaikan kembali RUU pernikahan umat Islam untuk dibahas di Dewan,
ini kembali gagal disahkan (DPR tidak bergairah membahas karena penyusunannya
didasarkan berbagai pandangan). Sementara itu organisasi masyarakat semakin
mendesak, akhirnya pemerintah menyiapkan RUU baru tanggal 31 juli 1973 terdiri
dari 15 bab 73 pasal. RUU ini bertujuan; pertama, memberikan kepastian hukum
bagi masalah perkawinan sebab sebelum ada UU Perkawinan hanya bersifat judge
made law. Kedua, melindungi hak kaum wanita dan keinginan/harapan wanita.
Ketiga, menciptakan UU yang sesuai dengan tuntutan zaman. Di samping
tuntutan-tuntutan tersebut ada pulan tanggapan negatif dari berbagai organisasi
misalnya Sarekat isteri Jakarta, dan Ratna Sari ketua Persatuan Muslim
Indonesia.
Adapun
catatan penting dari historis UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu;
pertama, muncul penolakan terhadap RUU Perkawinan ada hubungannya dengan kebijaksanaan
pemerintah hindia Belanda yang mengebiri hukum Islam dari otoritas Peradilan
agama. Kedua, UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pertama lahir di masa orde
baru yang merupakan respon terhadap tuntutan lahirnya UU di masa orde lama. UU
No. 1 tahun 1974 merupakan kelanjutan UU No. 22 tahun 1946. Adapun isi UU No. 1
tahun 1974 yang berlaku secara efektif sejak 1 oktober 1975 terdiri dari 14 bab
dan 67 pasal.
Kemudian
tahun 1989 lahir UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Tahun 1990 keluar
PP No. 45 yang berisi perubahan PP No.
10 tahun 1983. Tahun 1991 berhasil disusun KHI mengenai perkawinan,
pewarisan dan perwakafan berlaku dengan Inpres No. 1 tahun 1991.
c.
Masa
Reformasi
Sejak
jatuhnya pemerintahan orde baru bulan Mei 1998 yaitu pada 4 masa presiden
yaitu; B.J Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY. Pada masa reformasi
terjadi perdebatan PP N0. 10 tahun 1983, ada 5 kelompok; pertama, menghendaki
PP dihapus dan membolehkan poligami sesuai dengan diformulasikan ulama
konvensional. Kedua, setuju PP dihapus dengan alas an poligami adalah urusan
pribadi tidak perlu diatur Negara. Ketiga, PP dicabut kerena terbukti tidak
dapat melindungi wanita. Keempat, PP dicabut karena diskriminatif, hanya
berlaku bagi PNS padahal Negara berdiri di atas semua golongan, agama dan
etnik. Kelima, golongan mayoritas berpendapat PP dipertahankan bahkan direvisi,
karena dapat menahan laju poligami khususnya PNS, kelomok ini termasuk Aisyiyah
Muhammadiyah seluruh Indonesia. Selain itu ada usulan revisi isi UU No. 1 tahun
1974 dan/atau KHI. Tahun 2006 lahir UU No. 3 tahun 2006 sebagai amandemen UU
No.7 tahun 1989, yang memperluas kewenangan Peradilan Agama.
[1] Khoiruddin Nasution, Hukum
Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia
Islam, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009), hlm. 15-90
0 komentar:
Posting Komentar