Minggu, 13 November 2011


Historical backround Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Oleh: Yushadeni[1]
Memang aneh tapi nyata, PA sudah berusia lama tapi hakim-hakimnya tidak memiliki buku standar yang dapat dijadikan rujukan secara bersama, seperti halnya KUHP. Akibatnya jika hakim menghadapi kasus yang sama dapat lahir putusan yang berbeda karena rujukannya berbagai kitab fikih tanpa suatu standardisasi atau keseragaman. Dalam hal ini bertentangan dengan prinsip kepastian hokum oleh karena itu lahirnya SKB (surat keputusan bersama) antara ketua MA dengan menteri agama atas prakarsa presiden pada bulan maret 1985, adalah untuk menjembatani ketidakpastian hokum. Dalam konsideran KHI disebutkan bahwa KHI dijadikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut, baik oleh instansi pemerintah maupun masyarakat. Lahirnya KHI merupakan satu kebutuhan untuk mengakhiri ketidakpastian hokum oleh para hakim di PA. historisitas eksternal adalah adanya fenomena di dunia muslim lain yang umumnya sudah mempunyai kodifikasi hokum Islam.
Dalam sejarah penyusunan Kompilasi Hukum Islam dapat diketahui bahwa kebutuhan akan adanya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia sebagai upaya untuk memperoleh kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara bagi para hakim di lingkungan Peradilan Agama sudah lama dirasakan oleh Departemen Agama. Hal ini terbukti adanya kenyataan bahwa begitu diundangkan PP No. 45 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah di luar Jawa dan Madura, kepela biro Peradilan agama, Departemen Agama segera mengeluarkan surat edaran no. B/1/1735 tanggal 18 Februari 1958 yang menganjurkan penggunaan 13 macam kitab fiqih sebagai pedoman.
Sejak adanya Peradilan Agama di Indonesia, keperluan akan adanya Kompilasi Hukum Islam sudah dirasakan. Keperluan ini terus berkembang sejalan dengan badan peradilan agama itu sendiri. Adapun periodesasi penyusunan Kompilasi Hukum Islam ada tiga periode, yaitu:[2]
1.      Periode awal sampai tahun 1945
2.      Periode 1945 sampai 1985
3.      Periode tahun 1985 sampai sekarang.
Para hakim mengidentikkan fiqih dengan syariah dan  hukum Islam, akibatnya lahirlah berbagai produk putusan pengadilan Agama, sesuai dengan latar belakang mazhab yang dianut masing-masing hakim. Dari sini nampak ada perbedaan yang mencolok pada putusan meskipun kasusnya sama. Jika hakim menganut mazhab Hambali maka putusannya akan diwarnai paham ajaran Hambali, begitu pula sebaliknya jika hakim menggunakan mazhab Syafi’i maka putusannya pun berdasarkan doktrin Syafi’i. Para hakim yang kokoh menganut mazhab tertentu cenderung otoriter, tidak mau beranjak sedikitpun dari pendapat imam mazhab yang dipujanya.
Dengan demikian terjadi pertarungan antar mazhab, hukum tersisihkan ke belakang. Putusan bukan berdasar hukum tetapi berdasarkan doktrin mazhab yang telah didiskripsikan dalam kitab-kitab fikih. Pertarungan antar mazhab akan sangat terlihat dalam pemeriksaan banding. Karena pada Pengadilan tingkat pertama memang sudah berbeda putusannya walaupun dalam kasus yang sama. Dalam pertarungan antar mazhab ini keadilan yang dijujudkan bukan berdasarkan syariah tetapi berdasarkan ajaran fiqih.
Menurut Abdul Wahad Khallaf[3] fiqih merupakan pengetahuan tentang hukum-hukum syariah Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dali-dalil yang terperinci, di sini dapat diambil kesimpulan bahwa fiqih bukanlah hukum positif yang telah dirumuskan secara sistematis dan unifikatif. fiqih merupakan kandungan ajaran dan ilmu hukum Islam. Jika kita melihat ke hukum.
Berdasarkan pemaparan di atas maka jelaslah betapa pentingnya Kompilasi hukum Islam itu. Catatan penting yang perlu digarisbawahi di sini yaiti bahwa adanya Kompilasi hukum Islam itu bertujuan untuk Unifikasi Hukum Perkawinan, Peningkatan status wanita (melindungi hak-hak dan sekaligus memenuhi keinginan serta harapan kaum wanita), serta respon terhadap perkembangan dan tuntutan zaman.






[1] Mahasiswa Magister 
[2] Ahmad  Azhar Basyir, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 1993), hlm. 45-46
[3] Abdul Wahab kallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Bandung: Perisai, 1985) alih bahasa dan editor Dr. H. Moch. Tolchah Mansur dkk.


Sejarah Pembaruan Hukum Perkawinan Islam Indonesia[1]
Oleh : Yushadeni
1.      Sebelum Penjajahan Belanda
Adapun cara penyelesaian sengketa di kalangan kaum muslim pada awal Islam datang ke Indonesia adalah dalam bentuk perdamaian (hakam). Maka lembaga peradilan pertama muncul di Indonesia adalah lembaga tahkim. Kemudian yang kedua, lembaga ahl al-hall wa al-‘aqd, dalam bentuk peradilan adat. Ketiga lembaga Peradilan Swapraja pada masa kerajaan-kerajaan Islam. Kemudian yang ke empat Peradilan Agama sampai sekarang.
Diterimanya hukum Islam di Indonesia dapat dilihat dari bukti-bukti; pertama, Statuta Batavia 1642 yang menyebutkan bahwa sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari. Kedua, dipergunakannya kitab Muharrar dan papakem Cirebon 1768 serta peraturan dibuat B.J.D Clotwijjk untuk Bone dan Gowa di Sulsel. Ketiga, diterbitkannya kitab hukum Islam sebagai pegangan dalam masalah hukum keluarga dan waris di kesultanan Palembang dan Banten, diikuti kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik, dan ngampel. Keempat, 25 Mei 1760 VOC mengeluarkanperaturan Resolutie der Indische Regeering (mengakui keberadaan hukum Islam untuk menyelesaikan masalah di kalangan muslim), dan memberlakukan Compedium Freijer bagi muslim (kitab hukum yang berisi aturan hukum perkawinan dan waris menurut Islam).
2.      Masa Penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan Belanda berlaku Compedium Freijer (kitab hukum yang berisi aturan hukum perkawinan dan waris menurut Islam) yang ditetapkan 25 Mei 1760 untuk dipakai VOC. Atas usul residen Cirebon, Mr. P.C Hasselar (1757-1965) dibuat kitab Tjicebonce Rechtboek. Untuk Landraad (sekarang Pengadilan Umum) di Semarang dibuat Compedium  tersendiri, begitu juga Makasar. Compedium diperkuat dengan sepucuk surat VOC tahun 1808 yang memerintahkan agar para penghulu Islam harus dibiarkan mengurus sendiri perkara-perkara perkawinan dan warisan.
Berdasarkan berbagai pendapat yang dikemukakan dalam buku tersebut dapat dilihat bahwa  hukum yang berlaku bagi umat Islam adalah hukum adat, sengketa diselesaikan di Pengadilan agama asalkan hukum adat menghendaki, sejauh tidak ditentukan lain oleh ordonansi.
Pada masa kekuasaan Belanda, penduduk indonesia dibagi menjadi tiga golongan yaitu; pertama orang-orang eropa berlaku Bugerlijk Wetboek, kedua orang-orang Tionghoa berlaku BW dengan sedikit pengecualian, ketiga orang Arab dan timur asing bukan Tionghoa berlaku hukum adat mereka. Dari pengelompokan tersebut tidak ada aturan khusus bagi orang-orang Islam indonesia.
Sebelum Belanda datang ke Indonesia hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Kemudian dengan kedatangannya ke Indonesia pemberlakuan hukum Islam termajinalisasikan sedikit demi sedikit, dan akhirnya hanya diberlakukan untuk kasus-kasus yang sangat terbatas. Begitu juga hakim-hakimnya, hakim eropa digaji sedangkan hakim agama tidak digaji. Pada mulanya Belanda mengakui hukum Islam di indonesia namun lambat laun sedikit demi sedikit dicabut, tahun 1913 dicabut secara keseluruhan hingga yang berlaku hanya hukum adat.
3.      Masa Kemerdekaan
a.      Masa Orde Lama (Orla)
Setelah merdeka UU tentang perkawinan pertama lahir pada masa orde lama (pemerintahan Ir. Sukarno) adalah UU No. 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk, UU ini diperluas pemberlakuannya untuk seluruh Indonesia dengan UU No. 32 tahun 1954. Keberadaan UU No. 22 tahun 1946 merupakan pengganti dari Huwelijks Ordonantie Stbl No. 348 tahun 1929 jo. Stbl No 467 tahun 1931, dan Vorstenlandse Huwelijks Ordonantie Stbl No. 98 tahun 1933. Adapun isi UU No. 22 tahun 1946 ada dua pasal, pertama, keharusan pencatatan perkawinan, perceraian dan rujuk. Kedua, penetapan pegawai yang ditugasi melakukan pencatatan perkawinan, perceraian dan rujuk.
Ada kebijaksanaan lain sebagai penghargaan kepada muslim yakni penetapan No. 5/ SD tanggal 26 maret 1946 tentang perpindahan Mahkamah Islam Tinggi yang dulu berada di Departemen Kehakiman dialihkan kepada Departemen Agama. Demikian juga penghulu agama dahulu pada Residen dan Bupati diserahkan kepada Menteri Agama.
UU No. 1 tahun 1974 adalah UU pertama yang berisi materi perkawinan. Meskipun baru ada tahun 1974 tapi masyarakat telah lama menginginkannya misalnya organisasi-organisasi wanita yang sampai membicarakan di Dewan Rakyat (Volkskraad). Sebelumnya ada RA.kartini dan Rohana kudus yang mengkritik perkawinan di bawah umur, perkawinan paksa, poligami dan talak. Ada juga kerjasama antara puteri Indonesia dengan Persaudaraan isteri, Persatuan Isteri dan Wanita Sejati di Bandung 13 oktober 1929 membicarakan tentang poligami dan pelacuran. Tahun 1931 Kongres Isteri sedar sejalan dengan itu. Selanjutnya 1950 lahir BP$ (Badan Panasehat Pambinaan dan Pelestarian Perkawinan) yang didorong karena praktek perkawinan di bawah umur, talak semena-mena, poligami tidak bertanggung jawab. Sebagai respon positif tuntutan tersebut disusun dalam RUU namun tidak sampai diajukan ke DPR dikarenakan DPR beku karena Dekrit 5 juli 1959.
b.      Masa Orde Baru (Orba)
Peraturan peundang-undangan pada masa orde baru (masa pemerintahan Suharto) merupakan kelanjutan dari usaha di orde lama, pada tahun1966 sebagaimana TAP MPRS No. XXVIII/MPRS/1966 dalam pasal 1 ayat (3) bahwa perlu segera diadakan UU tentang Perkawinan. Tahun 1967 dan 1968 sebagai respon terhadap TAP MPRS tersebut, pemerintah menyampaikan dua RUU kepada DPR Gotong Royong yaitu; pertama, RUU tentang Pernikahan umat Islam. Kedua, RUU tentang ketentuan Pokok Perkawinan. RUU ini tidak mendapat persetujuan DPR (1 fraksi menolak, 2 abstain, 13 menerima), kemudian pemerintah menarik RUU tersebut. Pada awal 1967 Menteri Agama KH. Moh. Dahlan menyampaikan kembali RUU pernikahan umat Islam untuk dibahas di Dewan, ini kembali gagal disahkan (DPR tidak bergairah membahas karena penyusunannya didasarkan berbagai pandangan). Sementara itu organisasi masyarakat semakin mendesak, akhirnya pemerintah menyiapkan RUU baru tanggal 31 juli 1973 terdiri dari 15 bab 73 pasal. RUU ini bertujuan; pertama, memberikan kepastian hukum bagi masalah perkawinan sebab sebelum ada UU Perkawinan hanya bersifat judge made law. Kedua, melindungi hak kaum wanita dan keinginan/harapan wanita. Ketiga, menciptakan UU yang sesuai dengan tuntutan zaman. Di samping tuntutan-tuntutan tersebut ada pulan tanggapan negatif dari berbagai organisasi misalnya Sarekat isteri Jakarta, dan Ratna Sari ketua Persatuan Muslim Indonesia.
Adapun catatan penting dari historis UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu; pertama, muncul penolakan terhadap RUU Perkawinan  ada hubungannya dengan kebijaksanaan pemerintah hindia Belanda yang mengebiri hukum Islam dari otoritas Peradilan agama. Kedua, UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pertama lahir di masa orde baru yang merupakan respon terhadap tuntutan lahirnya UU di masa orde lama. UU No. 1 tahun 1974 merupakan kelanjutan UU No. 22 tahun 1946. Adapun isi UU No. 1 tahun 1974 yang berlaku secara efektif sejak 1 oktober 1975 terdiri dari 14 bab dan 67 pasal.
Kemudian tahun 1989 lahir UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Tahun 1990 keluar PP No. 45 yang berisi perubahan  PP No. 10 tahun 1983. Tahun 1991 berhasil disusun KHI mengenai perkawinan, pewarisan dan perwakafan berlaku dengan Inpres No. 1 tahun 1991.
c.       Masa Reformasi
Sejak jatuhnya pemerintahan orde baru bulan Mei 1998 yaitu pada 4 masa presiden yaitu; B.J Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY. Pada masa reformasi terjadi perdebatan PP N0. 10 tahun 1983, ada 5 kelompok; pertama, menghendaki PP dihapus dan membolehkan poligami sesuai dengan diformulasikan ulama konvensional. Kedua, setuju PP dihapus dengan alas an poligami adalah urusan pribadi tidak perlu diatur Negara. Ketiga, PP dicabut kerena terbukti tidak dapat melindungi wanita. Keempat, PP dicabut karena diskriminatif, hanya berlaku bagi PNS padahal Negara berdiri di atas semua golongan, agama dan etnik. Kelima, golongan mayoritas berpendapat PP dipertahankan bahkan direvisi, karena dapat menahan laju poligami khususnya PNS, kelomok ini termasuk Aisyiyah Muhammadiyah seluruh Indonesia. Selain itu ada usulan revisi isi UU No. 1 tahun 1974 dan/atau KHI. Tahun 2006 lahir UU No. 3 tahun 2006 sebagai amandemen UU No.7 tahun 1989, yang memperluas kewenangan Peradilan Agama.


[1] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009), hlm. 15-90

(masuknya) pembiayaan di indonesia

Kamis, 16 Juni 2011


Permasalahan yang Timbul dalam Pembiayaan
Dalam hukum pembiayaan yang diatur adalah kegiatan pembiayaan yang bergerak di ranah ekonomi, kenapa diatur?
Di dalam suatu negara kebutuhan dana secara konvensional, orang akan memperoleh dana dari perbankan. perbankan selalu menyediakan dana, tapi ia selalu menyerap dana langsung dari masyarakat. Oleh karena itu perbankan dalam menjalankan usahanya menerapkan prinsip kehati-hatian yang luar biasa. Banyak yang membutuhkan kredit tapi tidak lolos dalam administrasi bank.
Kendala : tidak semua badan usaha/ korporasi mempunyai akses ke perbankan karena perbankan selalu menerapkan prinsip kehati-hatian, prudential banking. Badan usaha untuk mendapatkan kredit harus dilihat 5 C, yaitu:
1.    Character (karakter), / track record/ performance
2.    Capacity (kemampuan mengembalikan utang),
3.    Collateral (jaminan),
4.    Capital (modal),
5.    Condition (situasi dan kondisi).
Tipe money selecty, dimana pemerintah ketat menyeleksi, kredit sulit didapat. Selain dari perbankan perusahaan mendapat dana dari pasar modal. Di Negara lain sumber dana yang ketiga yaitu pembiayaan.
Selain dari perbankan dan pasar modal di mana akan memperoleh dana itu?
Tahun 1988 pemerintah memperkenalkan alternative pembiayaan lain dalam Keppres No. 61 tahun 1988 tentang lembaga pembiayaan, membuka peluang lembaga pembiayaan sbg alternatif lain penyediaan dana, bagi mereka yang belum mampu perbankan atau pasar modal, untuk membantu badan-badan usaha kelas menengah. Alternatif pembiayaan lain inilah yang menjadi jalan bagi korporasi untuk memperoleh dana yang dibutuhkan. Lembaga pembiayaan selain menyediakan dana, ia menyediakan barang modal.
Berdasarkan Keppres No. 61 tahun 1988:
1.      Leasing/ Sewa guna usaha
2.      Modal Ventura
3.      Anjak piutang
4.      Perdagangan surat berharga---sekarang di pasar modal
5.      Usaha Kartu kredit---dapat dilakukan bank
6.      Pebiayaan konsumen---dilakukan oleh perorangan, contoh RS-RS kecil membutuhkan meja, alat-alat operasi.
Peluang ini melalui Keppres No. 61 tahun 1988, pengelolaan diberikan kepada tiga lembaga:
1.    Bank---meliputi bank umum, bank konvensional
2.    Lembaga Keuangan bukan bank---adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan menyalurkannya ke dalam masyarakat guna membiayai investasi berbagai perusahaan.
3.    Perusahaan pembiayaan---yaitu badan usaha di luar bank dan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiataan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan.
Contoh : Leasing,
perusahaan multi finance
Sebagai tindak lanjut Keppres tersebut dikeluarkanlah SK Menteri Keuangan 1251/KMK.013/1988 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan. Modal Ventura diatur tersendiri.
Leasing, Anjak Piutang, dan Modal Ventura adalah perjanjian-perjanjian yang berasal dari Anglo Amerika. Mereka sengaja dimasukkan untuk mendukung pembiayaan. Akan tetapi di Indonesia yang diatur hanya segi administratifnya saja. Tidak ada peraturan tentang perjanjiannya, hanya ada pokok-pokoknya saja. Yaitu berapa modal yang diperlukan, Izin apa yang diperlukan, tidak mengatur subtasi perjanjian, isi perjanjian tidak diatur, tetapi diserahkan kepada para pihak.
Contoh : Leasing---perjanjian yang mendasari kegiatan itu sama sekali tidak diatur, oleh karena itu harus dilihat bagaimana ketentuan ini bisa hidup di Indonesia.
1.    Apakah perjanjian yang berasal dari system hukum asing boleh masuk ke dalam system hukum kita?
2.    Bagaimana kaitan hukum perjanjian asing dengan hukum perikatan Indonesia?
3.    Bagaimana pedoman penyelesaiannya jika dalam perjanjian itu timbul sengketa?

Perjanjian dari sistem hukum asing masuk ke dalam sistem hukum eropa kontinental:
Anglo saxion:
a.    Hukum tidak tertulis
b.    Menganut precedent---jugde made law
c.    Yang membentuk adalah badan yuridis
d.    Ada daftar kasus/ perkara
e.    Tidak mengenal kodifikasi
Eropa Kontinental:
a.    Hukum tertulis
b.    Putusan hakim terdahulu tidak mengikat tapi boleh diacu, kalau diacu muncul yurisprudensi tetap.
c.    Yang membentuk adalah badan legislatif
d.    Ada daftar peraturan
e.    Mengenal kodifikasi: pembukuan bahan hukum sejenis secara sistematis, metodelogis.
Karena adanya asas korkondansi dibentuklah BW untuk Hindia Belanda. Anglo saxion: bertumbuh secara mandiri (tidak terpengaruh hukum eropa) dan berkesinambungan (terkait kerajaan inggris).
Ada klausula repossesion di AS, di Indonesia juga ada akan tetapi tidak ada upaya hukumnya. Perjanjian dari sistem hukum asing boleh masuk ke sistem hukum kita tetapi harus ada penyesuaian-penyesuaian dan harus ada kaitannya dengan sistem hukum yang dimasuki itu (prof. Sudikno). Dalam bisnis perlu kelenturan, agar luwes, sejalan dengan asas kebebasan berkontrak. 1338 ayat (1)
1.    Bebas untuk mengadakan perjanjian atau tidak
2.    Bebas untuk melakukan perjanjian dengan siapapun---dalam praktek monopoli tidak seperti ini contoh jika ingin beli listrik di PLN, beli premium di pertamina
3.    Bebas untuk menentukan isi dan syarat-syaratnya
4.    Bebas untuk menentukan bentuknya; Tidak otentik (dirundingkan, standard), Jika nilai ekonomi tinggi maka hendaknya ditulis.
5.    Bebas untuk menentukan hukum mana yang akan berlaku dalam perjanjian itu
Jika dengan orang yang sama negara—aturan pelengkap
Jika beda Negara---pke hukum yang mana Malaysia/ Indonesia, Sesuai dengan titik tautnya (tempatnya)
Segi negatifnya---bukan perjanjian asli yang berasal dari system hukum ind, tetapi berasal dari anglo amerika, Orang tidak tau bagamana cara menyusunnya, Objeknya : Barang modal tergantung tujuan penggunaannya, Yang menggunakannya badan usaha.
Wanprestasi: tidak memenuhi prestasi karena ada kesalahan dan sudah diperingatkan untuk itu (somasi)
a.    Syarat formil : kesalahan (kesengajaan, kelalaian)
b.    Syarat materil: sudah diperingatkan
Meskipun ada kodifikasi tapi sistem hukum lain bisa masuk karena adanya kebebasan berkontrak.
Bagaimana mengkaitkan hukum dari perjanjian asing dalam hukum kita?
Diberikan jalan melalui pasal 1319 BW, Pasal 1319 BW membedakan perjanjian menjadi dua macam perjanjian yaitu:
1.    Bernama/ nominaat contract (bahasa latin)/ benoemdo contract (bahasa belanda)
Adalah perjanjian-perjanjian yang sudah diatur secara khusus dan sudah diberi nama resmi oleh undang-undang. Karena diatur secara khusus maka dia disebut juga dengan perjanjian khusus atau burendere contract.
Perjanjian bernama bias di:
a.    KUHPerdata buku III bab V-XVIII
Perjanjian jul beli, sewa menyewa, perjanjian melakukan pekerjaan, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam mengganti, perjanjian penitipan barang, perjanjian untung-untungan, perjanjian kuasa, perjanjian penanggungan/borgtoch, perserikatan perdata/maatschap, perjanjian perdamaian/deding.
b.    KUHD
Persekutuan perniagaan, perjanjian perwalikan khusus (agen, komisioner, makelar), perjanjian yang berkenaan dengan surat-surat berharga/efec, perjanjian pertanggungan/asuransi, perjanjian pengangkutan di darat dan laut, serta perairan perdamaian.
c.    Diatur secara khusus dengan UU khusus
Koperasi, PT, pengangkutan udara.
2.    Tidak bernama/ innominaat contract (bahasa latin)/ onbenoemdo contract (bahasa belanda)
Adalah perjanjian yang timbul dalam masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tidak ada nama resmi dan tidak ada aturan pelengkap.
Perjanjian tidak bernama terbagi dua yaitu:
a.    Perjanjian tidak bernama campuran
Perjanjian yang di dalamnya terkandung unsure dari berbagai perjanjian bernama
Contoh: sewa beli, perjanjian BOT (sewa, pinjam pakai, hibah), indekost
b.    Perjanjian yang mempunyai sifat khusus/ contractus sui generis
Contoh: leasing, perjanjian kredit bank, modal ventura, anjak piutang.
Nama di sini bukan nama resmi karena tidak diberikan secara resmi oleh UU tetapi diberikan oleh masyarakat.
Kaitannya dengan hukum di Indonesia:
Pasal 1319 BW ini mengkaitkan dengan ketentuan-ketentuan umum di dalam hukum perikatan Indonesia sehingga meskipun berasal dari system hukum asing tapi tetap tunduk pada pereturan-peraturan umum hukum perikatan Indonesia.